Tanya jawab studi kasus perpajakan I

 Tanya jawab studi kasus perpajakan I


1. PT Sinar Pesona bergerak dalam bidang perdagangan alat-alat kosmetik. Penjualan yang dilakukan oleh PT Sinar Pesona sebagian besar dilakukan secara kredit. Sebagai pengusaha kena pajak yang patuh PT Sinar Pesona selalu menerbitkan faktur pajak sesuai ketentuan. Walaupun faktur pajak diterbitkan tepat waktu, untuk penjualan kredit faktur tesebut baru diberikan kepada pelanggan jika sudah lunas. Berikut beberapa transaksi yang dilakukan PT Sinar Pesona:
1. Penjualan kepada PT Cantiku, faktur pajak diterbitkan tanggal 5 Januari 2019 namun baru diserahkan kepada PT Cantiku tanggal 10 Maret 2019
 
2. Penjualan kepada PT Glowing faktur pajak diterbitkan tanggal 12 Januari 2019 namun baru diserahkan kepada PT Glowing tanggal 10 Juni 2019
 
Pertanyaan:
1. Apakah faktur pajak tersebut dapat atau tidak dapat dikreditkan oleh PT Cantiku? Jelaskan dasar hukumnya.
2. Apakah faktur pajak tersebut dapat atau tidak dapat dikreditkan oleh PT Glowing? Jelaskaan dasar hukumnya.
Jawab:
 
1. Untuk kasus pertama ini, PT. Cantiku masih bisa mengkreditkan pajak masukan tersebut karena faktur pajak diterima masih dalam rentang diperbolehkan untuk dikreditkan yaitu, maksimal 3 bulan setelah masa pajak berakhir. Dasar hukumnya adalah Pasal 9 ayat (9) UU 42 th 2009 ttg perubahan ketiga UU No. 8 th 1983 ttg PPN dan PPnBM yang berbunyi:  Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dkreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
 
2. Masih bisa dikreditkan tetapi karena lewat dari batas waktu tiga bulan, mekanisme pengkreditan nya melalui pembetulan SPT Masa PPN atau melalui mekanisme memasukkan faktur pajak yang expired ini ke dalam formulir 1111 B3 dalam SPT masa PPN pada periode diterima faktur pajak yang expired tersebut. Dasar Hukum PP 1 tahun 2012.
 
 
 
2. Kadir punya usaha jasa biro perjalan umum. Pada masa maret 2018 Kadir mencatat penjualan berupa paket wisata sejumlah Rp 250.000.000. Paket wisata ini terdiri dari:
-tiket pesawat dalam negeri sejumlah Rp 60.000.000
-akomodasi termasuk makan sejumlah Rp 110.000.000,
-angkutan darat sejumlah Rp 20.000.000,
-jasa tour sejumlah Rp 30.000.000,
-jasa guide sejumlah Rp 10.000.000,
-serta tontonan sejumlah Rp 20.000.000.
 
Selama masa Maret juga diperoleh faktur pajak atas pembelian computer kantor, tagihan listrik dan telepon dengan jumlah PPN total Rp 1.200.000. Dari uraian di atas: Hitunglah besarnya PPN yang harus disetor Kadir pada SPT Masa Maret 2018, dan jelaskan dasar hukumnya
Jawab:
Untuk menghitung berapa PPN yang masih harus disetorkan/PPN lebih bayar, maka kita menggunakan mekanisme PK-PM. Dan perlu diluruskan terlebih dahulu, disini tidak diketahui Apakah Kadir adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau bukan, apabila kadir bukan pengusaha kena pajak, maka kadir tidak berhak atas PPN dan mengkreditkan PPN. Namun jika Kadir adalah PKP, maka kadir berhak atas PPN dan perhitungannya sebagai berikut:
 
Pajak keluaran:
-Tiket pesawat merupakan jasa angkutan umum yang merupakan negative list PPN (Pasal 4A UU 42 th 2009)
-akomodasi termasuk makan, sebenarnya agak bingung, tapi saya anggap disini adalah makanan, sehingga tidak kena PPN
-angkutan darat termasuk negative list, tidak kena PPN
-jasa tour: 30.000.000x10%=3.000.000
-jasa guide: 10.000.000x10%=1.000.000
-jasa tontonan, saya mengaggap ini merupakan jasa hiburan dan kesenian, negative list PPN.
 
Sehinga Pajak keluaran Kadir pada Maret 2018 adalah sebesar: Rp 4.000.000
 
Pajak masukan:
Pembelian computer, tagihan listrik dan telepon, total PPN: Rp 1.200.000
 
Sehingga PPN yang masih harus dibayar/lebih bayar adalah sebesar PK-PM, 4.000.000-1.200.000=2.800.000 (kurang bayar).
 
Dasar hokum UU 42 tahun 2009 tentang perubahan ketiga UU No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah khususnya Pasal 4A terkait Barang dan Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
 
 
3. Bapak Ridha (ber – NPWP) mengikat kontrak dengan PT TOP untuk pembuatan sepatu karyawan berdasarkan spek yang telah ditentukan oleh PT TOP. Dalam kontrak disepakati bahwa PT TOP akan menyediakan bahan baku utama berupa kalep dan karet dan Bapak Ridha akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang disekapakati atas kontrak tersebut adalah sejumlah Rp 50.000.000,- tidak termasuk biaya bahan tambahan. Dalam memenuhi kontrak pembuatan Sepatu, Bapak Ridha menggunakan 5 orang tukang dengan mebayarkan upah borongan masing-masing sebesar Rp 5.000.000,- dan mengeluarkan biaya sebesar Rp 15.000.000,- untuk bahan tambahan.
 
Pertanyaan:
1. Hitunglah besarnya PPh 21 yang harus dipotong PT TOP apabila Bapak Ridha dalam melakukan tagihan tidak merinci pengeluarnya.
 
2. Hitunglah besarnya PPh 21 yang harus dipotong oleh PT TOP apabila dalam melakukan penagihan Bapak Ridha membuat rincian pengeluaran dan dilampiri bukti pendukung sesuai ketentuan yang berlaku.
 
Jawab:
 
Kasus tersebut merupakan kasus KSO (Kerjasama operasi) atau joint operation.
 
1. Apabila Pak Ridha tidak merinci, maka PT. TOP hanya menghitung PPh 21 yang diterima oleh Pak Ridha yaitu atas penghasilan sebesar Rp 50.000.000,- yang diterima Bapak Ridha. Bapak Ridha adalah memiliki NPWP, kita anggap Bapak Ridha menggunakan pembukuan belum menikah dan penghasilan tersebut adalah satu bulan, maka PPh 21 yang dipotong PT. TOP:
 
Penghasilan sebulan = 50.000.000
PTKP sebulan=             (4.500.000)
Total penghasilan=       45.500.000
 
 
 
PPh:
5% x 45.500.000= Rp 2.275.000
 
Jadi PPh 21 yang dipotong PT. TOP adalah Rp 2.275.000 atas penghasilan Pak Redha selaku Joint Operation PT. TOP
 
2. Apabila Pak Ridha merinci pengeluaran, maka:
Kontrak: Rp 50.000.000,-
Biaya tambahan: Rp 15.000.000
Gaji pegawai 5 orang @ Rp 5.000.000= 25.000.000,-
 
Penghasilan                                 : 50.000.000
Biaya gaji                                     :(25.000.000)
Penghasilan bersih pak Ridha      25.000.000
 
Biaya tambahan tidak termasuk biaya bagi PT. TOP karena di kontrak memang ditanggung Pak Ridha.
 
PPh 21 Pak Ridha jika kita misalkan ini penghasilan sebulan dan Pak Ridha belum menikah, maka:
 
Penghasilan:               Rp 25.000.000,-
PTKP sebulan:            Rp  (4.500.000,-)
 
Penghasilan neto:            20.500.000
 
PPh:
5% x 20.500.000= Rp 1.025.000
 
Jadi PPh 21 yang dipotong PT. TOP adalah Rp 1.025.000,- terkait penghasilan Pak Ridha selaku Joint Operation PT. TOP. Terkait PPh 21 5 pegawai pak ridha itu menjadi tanggung jawab pak Ridha.
 
 
4. Pada tanggal 1 April 2020 PT XYZ menyampaikan SPT Tahunan PPh nya untuk tahun pajak 2018 serta menyampaikan SPT Masal PPh Pasal 25 bulan Maret 2020. Pertanyaan: Analisis kasus di atas, apakah pelaporan administrasi perpajakan PT XYZ sudah sesuai dengan ketetapan perpajakan?
 
Jawab: Terkait Pelaporan SPT Tahunan PPh tahun 2018, PT XYZ terlambat, SPT Tahunan 2018 seharusnya dilaporkan paling lambat 4 bulan setelah berakhirnya masa pajak untuk WP Badan (paling lambat 30 April 2019). Sementara untuk SPT masa PPh Pasal 25 masa Maret 2020, PT XYZ sudah sesuai dengan ketentuan perpajakan, sebab pelaporan SPT Masa PPh Pasal 25 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya (untuk SPT Masa PPh pasal 25 Maret 2020 adalah 20 April).

Posting Komentar untuk "Tanya jawab studi kasus perpajakan I"